Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

 
Perbedaan tersebut adalah:
  1. Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional. 
  2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
  3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
  4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
  5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
  6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
  7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi Syari'ah
03.26 | Author: almazindarani
Menimbang :
  1. Bahwa dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.
  2. Bahwa salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat dilakukan melalui asuransi.
  3. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan persoalan baru yang masih banyak dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktifitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
  4. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan masyarakat, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang asuransi yang berdasarkan prinsip Syariah untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukannya.

Mengingat :
  • Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59] : 18).
  • Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
  • Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 1)
  • Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90 )
  • Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2: 275).
  • Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs. 2 : Al-baqarah : 278).
  • Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah [2] : 279)
  • Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 280)
  • Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29).
  • Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2).
  • Hadis-hadis Nabi S.A.W tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain:
  • Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
  • Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)
  • Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
  • Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
  • Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari & Muslim dari Umar bin Khattab).
  • Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
  • Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya” (HR. Bukhari).
  • Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).
  • Kaidah Fiqh yang menegaskan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
  • Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”
  • Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”

Memperhatikan :
  1. Hasil Lokakarya Asuransi Syariah DSN-MUI tanggal 13-14 Rabiuts Tsani 1422 H / 4 - 5 Juli 2001 M.
  2. Pendapat dan saran peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada Senin, tanggal Muharram 1422 H / 09 April 2001.
  3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada 25 Jumadil Awwal 1422 H / 15 Agustus 2001 dan 29 Rajab 1422 H / 17 Oktober 2001.

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum
  1. Asuransi syariah (ta’min, takful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
  3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
  4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
  5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi seuai dengan kesepakatan dalam akad.
  6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajb diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam asuransi
  1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’.
  2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
  3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
  • Hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
  • Cara dan waktu pembayaran premi;
  • Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’
  1. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
  2. Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam akad tijarah & tabarru’
  1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
  2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis asuransi dan akadnya
  1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
  2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi
  1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru.
  2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
  3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
  4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

  1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
  2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
  3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
  4. Klaim atas akad tabarru merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi
  1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
  2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.

Kesepuluh : Pengelolaan

  1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
  2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
  3. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan tambahan
  1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
  2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah.
  3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001

DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA



Ketua,                                                                                                           Sekretaris





K.H. M.A. Sahal MahfudhProf.                                                                    Dr. H. M. Din Syamsuddin
  

Pengaruh Islam terhadap Perkembangan Akuntansi
07.38 | Author: almazindarani
Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban di dominasi oleh dua bangsa  besar yang memiliki wilayah yang sangat luas yaitu, Bangsa Romawi dan Persia. Adapun perdagangan bangsa Arab Makkah terbatas yaitu, ke Yaman pada saat musim dingin dan Syam pada musim panas.
Pada masa itu, akuntansi telah digunakan dalam bentuk perhitungan barang dagangan oleh para pedagang . perhitungan dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan dan untung atau rugi (Adnan & Labatjo, 2006).  Selain itu orang-orang Yahudi pada saat itu juga melakukan perdagangan dan juga telah menggunakan Akuntansi untuk transaksi Utang-piutang mereka (Syahatah, 2001).
Praktik Akuntansi pada masa Rasulullah mulai berkembang setelah  turunnya perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai (2 : 282) dan untuk menunaikan Zakat (2 : 110 & 177, 9 : 18 & 71, 22 : 78, 58 : 13). Perintan Allah SWT untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai telah mendorong setiap individu untuk senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi. Adapun perintah Allah SWT untuk menunaikan Zakat telah mendorong Ummat Islam untuk mencatat dan menilai asset yang dimilikinya, karena ketentuan pembayaran Zakat dihitung berdasarkan Presentase tertentu dari asset yang dimliki seseorang yang telah memenuhi kriteria Nisab dan Haul.
Praktik Akuntansi Pemerintahan Islam
07.18 | Author: almazindarani
Masa Rasululah & Khaifah Abu Bakr Ash-Shiddiq
 Kewajiban dalam menunaikan Zakat berdampak pada didirikannya institusi Baitul Maal oleh Rasulullah SAW yang berfungsi sebagai lembaga penyimpan Zakat beserta pendapatan lain yang diterima oleh negara. Pada pemerintaha Rasulullah SAW memiliki 42 pejabat yang digaji berdasarkan spesialisasi dalam peran dan tugas masing-masing. Adnan dan Labatjo (2006) memandang bahwa praktik Akuntansi pada lembaga baitulmal di zaman Rasulullah baru berada pada tahap penyiapan personal yang menangani fungsi-fungsi lembaga keuangan negara. Pada masa tersebut, harta kekayaan yang diperoleh negara langsung didistribusikan setelah harta tersebut diperoleh. Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas penerimaan dan pengeluaran Baitulmaal. Hal sama pun berlanjut pada masa Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq.

Masa Khaifah Umar Ibn Khattab
Perkembangan pemerintahan Islam hingga meliputi Timur Tengah, Afrika dan Asia di Zaman Khalifah Umar Ibn Khattab telah meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan di Baitulmaal juga makin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggung jawaban penerimaan dan pengeluaran negara. Selanjutnya, Khalifah Umar Ibn Khattab mendirikan unit khusus bernama Diwan, yang bertugas membuat laporan keuangan Baitulmaal sebgaii bentuk akuntabilitas Khalifah atas dan Baitulmaal yang menjadi tanggung jawabnya (Zaid, 2001)

Masa Daulah Bani Umayyah
Pada masa khalifah Umar bin abdul Aziz (681-720 M), dikembangkannya reliabilitas laporan keuangan Pemerintahan berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan Uang. Kemudian pada masa Khalifah Al Waleed bin Abdul Malik (705-715 M), mengenalkan catatan dan Register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya (Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001)

Masa Daulah Abbasiyah
Evolusi perkembangan pengelolaan buku Akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiyah. Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain Akuntansi Peternakan, akuntansi Pertanian, Akuntansi Bendahara, Akuntansi Konstruksi, Akuntansi Mata Uang dan Pemeriksaan buku (auditing) (Zaid, 2001). Pada masa itu, sistem pembukuan telah menggunakan model buku besar, yang meliputi sebagai berikut :
  1. Jaridah Al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar (Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001). Piutang dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran dikolom yang lain.
  2. Jaridah An-Nafaqaat (jurnal pengeluaran), merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat pengeluaran Negara
  3. Jaridah Al-Maal (Jurnal Dana), merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran dana zakat.
  4. Jaridah Al-Musadareen, merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan denda atau sita dari individu yang tidak sesuai dengan Syari’ah, termasuk dari Pejabat yang korup.

Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain sebagai berikut :
  1. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan (Bin Jafar, 1981 dalam Zaid, 2001)
  2. Al-Khitmah al-Jame’ah, laporan keuangan komprehensif yang berisikan gabungan antara laporan laba-rugi dan neraca (pendapatan, pengeluaran, surplus dan defisit, belanja untuk asset lancar maupun Asset Tetap) yang dilaporkan di Akhir Tahun. Dalam perhitungan dan penerimaan zakat, utang zakat, diklasifikasikan dalam laporan keuangan menjadi 3 Kategori, yaitu Collectable Debts dan Uncollectable Debts (Lasyin, dalam Zaid, 2001)